Jumat, 02 November 2012

gizi buruk



Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama pada asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik akan melahirkan anak yang bergizi baik. Anak yang bergizi baik menjadi aset dan investasi sumber daya manusia (SDM) bangsa kedepan. Karena itu penting ditingkatkan pengetahuan dan perilaku ibu dalam membentuk keluarga sadar gizi.

Hal tersebut disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, S.IP saat membuka Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Ibu ke-82 tahun 2010 di Jakarta, 10 Desember 2010.
Seminar dihadiri 200 peserta berasal dari organisasi kewanitaan, tokoh masyarakat, yayasan sosial, mahasiswa, dan pelajar mengangkat tema Perbaikan Status Gizi Sebagai Tolak Ukur Pencapaian Target Millenium Development Goal’s (MDG’s).
Linda mengatakan dalam pencapaian target pembangunan MDG’s, salah satunya adalah mengurangi angka kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia dapat diukur berdasarkan indikator prevalensi gizi kurang.
Banyak upaya dilakukan untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Data menunjukkan prevalensi gizi buruk terus mengalami penurunan dari 9,7% di tahun 2005 menjadi 4,9% di tahun 2010 dan diharapkan di tahun 2015, prevalensi gizi buruk dapat turun menjadi 3,6%. Prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk turun 0,5 % dari 18,4% pada 2007 menjadi 17,9% pada 2010. Faktor-faktor penyebab gizi buruk, yaitu asupan gizi dan pemahaman tentang makanan yang aman untuk dimakan, penyakit menular, lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pola asuh, lanjut Linda.
Interaksi antara kemiskinan dan faktor sosial, seperti pendidikan, pekerjaan, perilaku merokok, menikah usia muda, dan cakupan pelayanan kesehatan yang belum optimal, juga menyebabkan masalah gizi menjadi kronis. ”Terhambatnya pertumbuhan pada anak mengindikasikan pembangunan yang kurang efisien dalam upaya perbaikan sumber daya manusia,” ujar Linda.
Dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia perlu dilakukan intervensi, salah satunya skala prioritas melalui investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan sosial, khususnya ditujukan pada kelompok risiko tinggi, seperti keluarga miskin. Selain itu juga berbagai upaya pemberdayaan masyarakat terus dilakukan termasuk perubahan perilaku masyarakat sadar gizi, ungkap Linda.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Dr. Minarto, MPS, Direktur Bina Gizi Masyarakat menjelaskan prioritas intervensi gizi ibu dan anak, dapat dilakukan melalui berbagai hal. Pertama, intervensi perubahan perilaku, seperti pemberian ASI eksklusif, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara tepat, memantau berat badan teratur, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Kedua, suplementasi gizi mikro, mencakup asupan vitamin A, tablet Fe, dan garam beryodium. Ketiga, tatalaksana gizi kurang/buruk pada ibu dan anak, meliputi pemulihan gizi anak gizi kurang, pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil.
Gizi kurang menjadi faktor risiko penyebab kematian anak. Gizi kurang dipengaruhi beberapa faktor, yaitu asupan gizi yang rendah pada ibu hamil dan menyusui, pendapatan (prevalensi pada kelompok miskin lebih tinggi), pendidikan, perbedaan kultur antara desa dan kota, pola asuh (prevalensi pada kelompok ”tidak miskin”), dan kebijakan lokal, ungkap Dr. Minarto.
Dr. Minarto menambahkan, selain gizi kurang dan gizi buruk, masih banyak masalah yang terkait dengan gizi yang perlu perhatian lebih, diantaranya yaitu; 1) stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh. Stunting adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO. Data WHO menunjukkan tinggi anak Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan tinggi anak dari negara-negara lain. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi anak balita pendek (stunting) 35,6 % atau turun 1,2 % dibandingkan 2007 (36,8 %); 2) kesadaran tentang pentingnya keamanan pangan. Status gizi baik tergantung pada ketersediaan dan keamanan pangan. Data WHO menunjukkan 2,2 juta orang pertahun meninggal yang diakibatkan penyakit bersumber dari makanan, terutama makanan yang mengandung zat-zat berbahaya dan beracun.



Kriteria Status Gizi

Semua bagian tubuh (keseluruhan atau parsial) dapat digunakan untuk menilai status gizi, namun menurut WHO (1983) hanya tiga parameter saja yang dianggap valid; berat badan, tinggi badan, dan lingkaran lengan atas. Satu ukuran tubuh sebagai dasar menentukan status gizi disebut parameter. Menurut WHO (1990) indeks status gizi adalah gabungan dua parameter antropometri yang digunakan untuk menilai status gizi. Sehingga dari parameter yang valid tersebut dapat dinilai empat indeks; Berat Badan menurut Umur (BB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Lingkaran Lengan Atas menurut Umur (LILA/U).
Empat indeks yang akan dibahas berikut ini adalah BB/U, TB/U, BB/TB, dan LILA/U yang merupakan indeks dari tiga parameter berat badan, tinggi badan dan umur. Ketiga parameter memiliki informasi yang berbeda satu sama lain dalam menilai status gizi.

1.   Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan ukuran pertumbuhan massa jaringan. Massa jaringan memiliki sifat sensitif, artinya cepat berubah. Perubahan yang terjadi pada lingkunan akan terlihat langsung pada massa jaringan. Misalnya seorang anak mekan lebih dari biasanya dalam 2 atau 3 hari akan terlihat langsung penambahan berat badannya. Atau sebaiknya apabila terjadi penyakit (misalnya diare) maka berat badan akan langsung turun drastis. Penggunaan berat badan untuk menilai status gizi menggambarkan kondisi saat ini (dekat dengan waktu pengukuran). Keadaan kurang gizi yang diukur dengan berat badan bersifat akut.
Pengukuran status gizi bayi dan anak balita berdasarkan berat badan menurut umur, juga menggunakan modifikasi standar Harvard dengan klasifikasinya adalah sebagai berikut :
  • Gizi baik adalah apabila berat badan bayi / anak menurut umurnya lebih dari 89% standar Harvard.
  • Gizi kurang adalah apabila berat badan bayi / anak menurut umur berada diantara 60,1-80 % standar Harvard.
  • Gizi buruk adalah apabila berat badan bayi / anak menurut umurnya 60% atau kurang dari standar Harvard.

2.  Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan adalah salah satu ukuran pertumbuhan linier. Pertumbuhan liner (tulang rangka) memiliki sifat pertumbuhannya lambat, tidak mudah berubah, dan seburuk keadaan ukuran adalah tetap, tidak turun. Tinggi badan menggambarkan kondisi masa lalu. Gangguan pertumbuhan linier bersifat kronis
Pengukuran status gizi bayi dan anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur, juga menggunakan modifikasi standar Harvard dengan klasifikasinya adalah sebagai berikut :
  • Gizi baik yakni apabila panjang / tinggi badan bayi / anak menurut umurnya lebih dari 80% standar Harvard.
  • Gizi kurang, apabila panjang / tinggi badan bayi / anak menurut umurnya berada diantara 70,1-80 % dari standar Harvard.
  • Gizi buruk, apabila panjang / tinggi badan bayi / anak menurut umurnya kurang dari 70% standar Harvard.

3.   Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Indeks BB/TB lebih menggambarkan komposisi tubuh oleh karena tidak dipengaruhi oleh umur. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks ini disebut status kegemukan yaitu : sangat kurus, kurus, normal dan gemuk (Depkes, 2000). Sifat masalah gizi dengan indeks BB/TB adalah akut dan kronis.
Pengukuran berat badan menurut tinggi badan itu diperoleh dengan mengkombinasikan berat badan dan tinggi badan per umur menurut standar Harvard juga. Klasifikasinya adalah sebagai berikut :
  • Gizi baik, apabila berat badan bayi / anak menurut panjang / tingginya lebih dari 90% dari standar Harvard.
  • Gizi kurang, bila berat bayi / anak menurut panjang / tingginya berada diantara 70,1-90 % dari standar Harvard.
  • Gizi buruk apabila berat bayi / anak menurut panjang / tingginya 70% atau kurang dari standar Harvard.

4.  Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U)
Klasifikasi pengukuran status gizi bayi / anak berdasarkan lingkar lengan atas yang sering dipergunakan adalah mengacu kepada standar Wolanski. Klasifikasinya sebagai berikut :
  • Gizi baik apabila LLA bayi / anak menurut umurnya lebih dari 85% standar Wolanski.
  • Gizi kurang apabila LLA bayi / anak menurut umurnya berada diantara 70,1-85 % standar Wolanski.
  • Gizi buruk apabila LLA bayi / anak menurut umurnya 70% atau kurang dari standar Wolanski.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2000sebagai penetapan dari hasil Temu Pakar Gizi Bulan Juni 2000 di Semarang, adalah sebagai berikut :
A. Indeks BB/U
  • · Gizi Buruk : < -3 SD*
  • · Gizi Kurang : > -3 Sd s/d < -2 SD
  • · Gizi Baik : > -2 SD s/d < +2 SD
  • · Gizi Lebih : > +2 SD
B. Indeks TB/U
  • · Anak Pendek : < -2 SD
  • · Anak Normal : > -2 SD
C. Indeks BB/TB
  • · Sangat Kurus : < -3 SD
  • · Kurus : > -3 Sd s/d < -2 SD
  • · Normal : > -2 SD s/d < +2 SD
  • · Gemuk : > +2 SD
*SD = Standar Deviasi
Angka yang digunaan untuk menentukan klasifikasi status gizi adalah Z-score. Z-score dihitung dengan membagi hasil pengurangan sebuah parameter dengan median nilai pada tabel baku rujukan yang digunakan dari parameter yang bersangkutan kemudian dibagi dengan standar deviasinya. Standar deviasi dihitung dari nilai median pada karakteristik pengukuran (jenis kelamin umur dan indeks) dikurangi dengan nilai -1 SD di dalam daftar baku rujukan pada karakteristik yang sama.
Selain itu, ada juga kriteria lain status gizi menggunakan Indeks Massa Tubuhyang diterapkan oleh Depkes pada tahun 2001. Berikut adalah kriterianya:
Kategori IMT
Pengertian
Keterangan
< 18,5
Berat badan kurang
Kurus
18,5 – 25
Berat badan normal
Normal/sehat
> 25
Berat badan lebih
Kegemukan


0 komentar:

Posting Komentar